Allah ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Faidah Ayat:
- Allah ta’ala menciptakan jin dan manusia untuk satu tujuan saja; yaitu untuk beribadah kepada Allah (lihat I’anat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/32-33])
- Tafsiran ayat ini adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalibradhiyallahu’anhu, “Supaya Aku perintahkan mereka untuk beribadah.” Hal ini diperkuat oleh ayat lainnya (yang artinya), “Tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada ilah/sesembahan yang satu saja.” (QS. At-Taubah: 31) (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [19/507])
- Hakikat ibadah adalah melaksanakan perintah-perintah Allah yang disampaikan melalui lisan para rasul. Demikian keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (lihat Taisir al-’Aziz al-Hamid [1/137])
- Ibadah juga bisa diartikan dengan segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan; yang tersembunyi [batin] maupun yang tampak [lahir] (lihat Taisir al-’Aziz al-Hamid [1/137])
- Ayat ini menunjukkan wajibnya mengkhususkan ibadah kepada al-Khaliq yaitu Allah ta’ala; sebab Allah lah yang memulai penciptaan manusia dan mencurahkan segala macam nikmat kepada mereka. Oleh sebab itu hanya Allah yang layak untuk diibadahi, bukan selain-Nya (lihat Taisir al-’Aziz al-Hamid [1/140]). Oleh sebab itu para ulama salaf menafsirkan perintah beribadah di atas dengan ‘supaya mereka mentauhidkan-Ku’. Landasan pemahaman ini adalah bahwasanya para rasul diutus dengan tujuan mendakwahkan tauhid ini -yaitu tauhid ibadah- (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 11 dan Ma’alim at-Tanzil, hal. 1236)
- Ayat di atas juga menunjukkan bahwa setiap jenis atau bentuk ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah semata, tidak kepada selain-Nya (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 13)
- Ibadah yang benar adalah yang memadukan dua unsur pokok; puncak kecintaan dan puncak perendahan diri. Sehingga cinta yang tidak dibarengi dengan [puncak] perendahan diri tidak disebut ibadah. Demikian pula halnya jika perendahan diri yang tidak dibarengi dengan [puncak] kecintaan; pada dasarnya hal itu pun tidak disebut sebagai ibadah (lihat Qurrat ‘Uyun al-Muwahhidin, hal. 3)
- Ayat di atas juga menunjukkan wajibnya bertauhid, dan bahwasanya hakikat tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam hal ibadah; sebab itulah hikmah penciptaan jin dan manusia (lihat al-Mulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 9-10)
- Beribadah kepada Allah dengan benar dan sempurna tidak bisa terlaksana kecuali dengan bekal ma’rifatullah [pengenalan terhadap Allah] (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [7/181]). Oleh sebab itulah sebagian ulama salaf -yaitu Mujahid- menafsirkan ‘supaya mereka beribadah kepada-Ku’ di dalam ayat di atas dengan ‘supaya mereka mengenal/ma’rifat kepada-Ku’ (lihatMa’alim at-Tanzil, hal. 1236)
No comments:
Post a Comment